MAKALAH ANGKUTAN UMUM

Posted By frf on Selasa, 25 Oktober 2016 | 17.34.00

KAJIAN MANAJEMEN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM PENUMPANG
Abstrak 
Sistem manajemen dalam penyelenggaraan angkutan umum penumpang di perkotaan pada umumnya masih lemah, sehingga mengakibatkan kualitas pelayanan angkutan umum penumpang kepada masyarakat rata-rata sangat buruk. Perilaku negatif pengemudi angkutan umum penumpang secara umum memberi konstribusi yang signifikan terhadap pergerakan kendaraan, yang juga menimbulkan dampak negatif terhadap pengguna jalan lainnya, dan bermuara pada menurunnya kinerja pelayanan lalulintas pada sistem jaringan jalan perkotaan. Langkah strategis untuk memperbaiki manajemen penyelenggaraan angkutan umum penumpang adalah berupa kebijakan, dengan berdasar pada asumsi dan konsep dasar yang relevan dan konstruktif. Sehingga pihak-pihak yang terkait penyelenggaraan angkutan umum penumpang tidak ada yang dirugikan, dan dapat berinteraksi/ bekerja secara proporsional dan profesional. Kinerja angkutan umum penumpang yang baik, signifikan dengan kualitas perilaku pengemudinya. Maka manajemen penyelenggaraan angkutan umum penumpang yang baik akan bermuara pada kinerja lalulintas yang lebih baik pula, dan bermuara pada tingkat kualitas performance kota. 
Kata kunci : angkutan umum penumpang

PENDAHULUAN
Di sebagian besar kota-kota di Indonesia, penyelenggaraan angkutan umum penumpang didominasi oleh moda dengan kualifikasi para transit – jenis kendaraan station wagon atau sejenisnya (kapasitas 12 - 15 penumpang), dan sering dikenal dengan istilah mikrolet atau lainnya. Di samping permasalahan kualitas pelayanan, penyelenggaraan angkutan jenis ini sering kali menimbulkan permasalahan yang rumit ketika pemerintah akan melakukan peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum, seperti peremajaan ataupun penggantian armada menjadi jenis bus. Hal ini terjadi karena paradigma penyelenggaraan angkutan umum masih lebih sebagai fasilitas sosial-ekonomi bagi masyarakat. Ujung dari kondisi yang demikian adalah masyarakat penggunanya yang harus menanggung berbagai risikonya, termasuk transport cost yang mahal. 

Pada tahun-tahun terakhir ini, pemerintah pusat bersemangat memperbaiki angkutan umum penumpang dari moda para transit menjadi semi transit atau transit (busway, kereta komuter, dan sejenisnya). Namun perubahan tersebut dipastikan tidak dilakukan secara frontal, oleh karena itu untuk beberapa waktu ke depan penyelenggaraan angkutan umum penumpang - para transit – ini masih merupakan salah satu simpul masalah transportasi di perkotaan.

Permasalahan
Fenomena yang sering dijumpai di sebagian besar kota-kota di Indonesia dalam terjadi penyelenggaraan angkutan umum penumpang di perkotaan saat ini adalah kualitas pelayanan yang sangat buruk kepada penggunanya, disamping aspek perilaku pengemudinya dalam berlalulintas yang cenderung menimbulkan dampak negatif terhadap pengguna jalan lainnya, dan bermuara pada menurunkan kinerja lalulintas kota. Kondisi tersebut, dapat diduga juga sebagai akibat dari lemahnya sistem manajemen penyelenggaraan, dimana secara kelembagaan menerapkan model deregulasi, yaitu model dimana dalam implementasi penyelenggaraan angkutan kota posisi Pemerintah (Kota) sebagai pihak pembuat kebijakan (perencana sistem) dan sekaligus sebagai pihak pemberi ijin penyelenggaraannya, tidak melakukan regulasi/pemantauan terhadap operasional secara proporsional. 

Buruknya kinerja angkutan umum penumpang dalam pelayanan kepada penggunanya ataupun dalam berlalulintas, diantaranya yang mudah dijumpai adalah:
  1. Rendahnya faktor kenyamanan ataupun keamanan bagi pemakai, dimana terjadi sikap pemaksaan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas (normal)-nya. 
  2. Rendahnya konsistensi operasi pada rute/jalur yang telah ditetapkan, dimana dalam operasinya, sebagian angkutan umum penumpang akan kembali lagi ke terminal/APK (area parkir kendaraan) semula sebelum mencapai terminal/APK (tujuan) akhirnya, baik terjadi sebagai akibat dari minimumnya jumlah penumpang maupun perilaku pengemudinya.
  3. Adanya diskriminasi penumpang, khususnya pada jam puncak (peak hour) baik pagi hari maupun siang hari, dimana banyak pelajar (berseragam sekolah) yang tidak diangkut, yang diasumsikan mereka tidak membayar tarif secara penuh, meskipun tarif bagi pelajar (berseragam) telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
  4. Perilaku sebagian pengemudi angkutan umum penumpang yang arogan, dengan berdalih mengejar uang setoran, sering mengabaikan aspek kenyamanan, keamanan dan kelancaran mobilitas, baik penggunanya maupun pemakai jalan lainnya. Perikalu ini muncul diduga sebagai akibat dari beberapa hal, diantaranya yang cukup dominan sebagai alasan, adalah:
¨ Tingginya uang setoran yang ditetapkan oleh pemilik/pengusaha angkutan umum penumpang, dimana kondisi ini merupakan dampak dari tingginya biaya awal (capital cost) ataupun biaya operasionalnya, khususnya yang relevan dengan standing cost (misal: biaya ijin trayek, biaya ijin usaha) disamping ketatnya persaingan akibat jumlah armada yang berlenih atau pendeknya headway antar angkutan umum penumpang pada satu rute/jalur.

¨ Pada beberapa rute/jalur tertentu, pada saat non peak hour terjadi fenomena kapasitas jalur lebih kecil daripada kapasitas operasi. Hal ini terjadi sebagai dampak dari besarnya jumlah armada yang tersedia, sedangkan jumlah penumpangnya relatif lebih kecil (frekuensi sarana tinggi, sedangkan okupansi penumpang rendah). 

¨ Pada setiap pembukaan rute/jalur baru, (tampak) tidak dilakukan penyesuaian terhadap terjadinya perpindahan penumpang angkutan kota dari rute lama ke rute baru, yang selanjutnya mengakibatkan terjadi penurunan jumlah penumpang pada angkutan umum penumpang rute lama, sementara armada yang beroperasi tidak berkurang.

Sedangkan aspek perilaku pengemudi angkutan umum penumpang cukup banyak memberikan konstribusi menurunnya aspek keamanan, kenyamanan dan kelancaran lalulintas secara umum. Pelanggaran lalulintas yang ditimbulkan secara kuantitas relatif cukup tinggi, seperti: gerakan menepi/memberhentikan kendaraan secara mendadak (bahkan tanpa memberikan tanda lebih dahulu), memberhentikan kendaraan untuk pemuatan ataupun penurunan penumpang tidak pada bahu jalan dan atau tidak pada tempat berhenti yang telah ditetapkan (stop/halte), penggunaan lajur belok kiri (lajur LTOR – left turn on red) untuk berhenti pada simpang bersinyal; dan lain-lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Angkutan umum di Indonesia jelas belum bertujuan “melayani masyarakat” dalam arti sebenarnya. Hal ini terbukti dengan rendahnya komitmen pemerintah, baik dalam hal kebijakan yang meliputi peraturan-kebijaksanaan, maupun terlebih dalam besaran anggaran belanja baik di pusat maupun daerah. Tiadanya riset dan pengembangan juga merupakan indikasi rendahnya prioritas bidang ini. Selama tiga puluh tahun sejak bus kota diperkenalkan di Indonesia (Jakarta) belum pernah ada suatu inisiatif yang memihak atau mengutamakan angkutan umum. Akibatnya sudah jelas: kualitas rendah kalau tidak boleh dibilang membahayakan, armada yang tak teremajakan, iklim usaha yang tak menarik, kompetisi tidak sehat. Muaranya, semuanya merugikan: pengguna merasa dirugikan akibatnya angkutan umum makin ditinggalkan, masyarakat luas merasa cara operasi cenderung mengganggu kelancaran lalulintas dan kemacetan yang makin akut akibat berpindahnya pengguna ke kendaraan pribadi terutama sepeda motor. (Sutomo: 2005)

Sutomo (2005) menguraikan, lingkaran setan angkutan umum: akibat makin macet – kecepatan menurun – jumlah rit berkurang – pendapatan terancam – kualitas layanan menurun – ditinggalkan penumpang – berpindah ke kendaraan pribadi – jalan makin macet.

Mengacu arahan GBHN 1993, Tamin (2000) menguraikan bahwa kebijakan pengembangan sistem transportasi perkotaan sebaiknya diarahkan sebagai berikut:
  1. Memadukan angkutan jalan, kereta api, angkutan udara dan angkutan laut.
  2. Mengembangkan sistem angkutan umum massa yang tertib, lancar, aman, nyaman dan efisien serta (tarif) terjangkau oleh segenap lapisan masyaraka
  3. Mengatasi kemacetan dan gangguan lalu lintas, mempertahankan kualitas lingkungan serta meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas. 
  4. Peningkatan sistem jaringan jalan antar kota, agar angkutan perkotaan dapat berfungsi secara optimal dalam melayani aktifitas (perjalanan) lokal dan sekitarnya.
  5. Mengembangkan keterpaduan antarmoda dan intermoda sesuai dengan tata ruang, serta memanfaatkan ruang jalur koridor sistem angkutan umum massa sebagai kawasan/kegiatan baru. 
  6. Memperluas kebebasan pemilihan angkutan umum yang digunakan, sesuai dengan kualifikasi jasa yang diberikan dan tingkat kemampuan masyarakat.
  7. Mendorong penggunaan angkutan umum - mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
  8. Memperkecil penambahan jaringan jalan baru yang akan berdampak terhadap pertumbuhan kota yang tidak sesuai/sinergis dengan kebijakan pengembangan wilayah.
  9. Mempersempit arah pergerakan/perjalanan, dengan menyebarkan fasilitas umum (infra-struktur) secara seimbang dan merata.
  10. Mengembangkan fasilitas angkutan laut dan angkutan udara sebagai alternatif untuk memenuhi pergerakan jarak jauh/antar pulau.
  11. Mengembangkan manajemen angkutan perkotaan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan. 
Kualitas manajemen penyelenggaraan sistem angkutan kota, pada umumnya tergantung dari model kelembagaan yang diterapkannya. Model kelembagaan penyelenggaraan sistem angkutan kota berkaitan erat terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek yang relevan dalam mekanisme kerja angkutan umum (Kelompok Bidang Kehlian Transportasi Jurusan Teknik Sipil, ITB: 1997) 

Agar bisa dicapai kebijakan transportasi yang efektif, sebaiknya keberlanjutan transportasi memenuhi tiga kebutuhan utama (World Bank dalam Sutomo, 1998), yaitu:
  1. Kebijakan harus mampu menjamin terwujudnya suatu kemampuan pelayanan yang kontinyu dalam rangka perbaikan standar kehidupan.
  2. Kebijakan harus mampu membangkitkan segala bentuk perbaikan dalam kualitas hidup secara keseluruhan, tidak lagi sebatas peningkatan volume perdagangan.
  3. Kebijakan harus menjamin bahwa manfaat yang muncul dari transportasi bisa dinikmati secara merata oleh semua elemen dalam masyarakat.
ASUMSI UNTUK PERBAIKAN
Dalam upaya memenuhi mobilitas masyarakat yang dinamis dan cenderung berkembang, seiring dengan perwujudan sistem transportasi kota yang nyaman, aman, lancar serta manusiawi, khususnya dalam penyelenggaraan angkutan umum penumpang, maka diperlukan langkah-langkah yang tepat dan relevan serta sinergis untuk meningkatkan kinerjanya, baik pada sisi pelayanan maupun perilaku pengemudinya dalam berlalulintas, yaitu berupa perbaikan pada sektor manajerial penyelenggaraan angkutan umum penumpang. Untuk mempermudah intepretasi langkah-langkah tersebut, maka di dalam prosesnya harus diberlakukan asumsi-asumsi yang terkait. Beberapa asumsi yang relevan, sebagai patokan dalam bahasan ini, diantaranya adalah:
  • Bahwa penyelenggaraan angkutan umum penumpang, berangkat dalam konteks “ideal” dalam rangka memenuhi kebutuhan mobilitas segenap masyarakat, khususnya masyarakat kelompok captive dengan berorientasi terhadap pelayanan publik yang nyaman, aman dan lancar, serta manusiawi.
  • Manajemen penyelenggaraan angkutan umum penumpang yang dimodifikasi, secara “ideal” juga berpedoman bahwa di dalam implementasinya tidak ada satupun pihak yang akan dirugikan baik secara moral maupun material, dari pihak operator (pemilik/pengusaha dan pengemudi) maupun pemerintah dalam skala makro pembangunan kota.
  • Adanya kesadaran yang luhur (good will) akan kwajiban dan hak dari setiap pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen penyelenggaraan angkutan umum penumpang, sehingga terbangun mata rantai kehidupan yang saling membutuhkan dapat dipenuhi secara proporsional disamping pengembangan aspek profesionalisme dalam tugas-tugas kemasyarakatan, adapun pihak-pihak terkait yang dimaksud, antara lain :
  1. pengguna jasa/penumpang.
  2. operator (pemilik/pengusaha angkutan & pengemudi).
  3. Pemerintah Kota sebagai perencana, pengelola (pembina) dan regulator sistem. 
  4. Lembaga yang terkait dengan penegakan hukum/peraturan yang diberlakukan (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman), untuk mengendalikan/mengatasi adanya penyimpangan oleh pengemudi angkutan kota
KONSEP DASAR
Sebagai aspek yang mendasar di dalam pengelolaan penyelenggaraan angkutan umum penumpang, maka diperlukan konsep-konsep yang relevan, diantaranya:
  • Bahwa setiap anggota masyarakat merupakan mahluk individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial, dimana dalam kehidupannya senantiasa saling memerlukan/berinteraksi (asas simbiosis antar sesama). 
  • Sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, mobilisassi merupakan kebutuhan yang harus dilakukan oleh hampir setiap manusia. Pada umumnya, semakin tinggi peradaban manusia, maka ada kecenderungan meningkat pula mobilisasinya.
  • Masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah/low class, untuk melakukan mobilisasi dengan biaya murah memerlukan sarana transportasi umum yang bisa dipakai secara bersama.
  • Bagi masyarakat yang memiliki modal dan atau ketrampilan mengemudi kendaraan/mobil, kebutuhan masyarakat untuk mobilisasi merupakan peluang usaha, untuk meningkatkan derajad ekonomi (peluang kesempatan investasi/ kerja).
  • Potensi masyarakat tersebut, merupakan aset pembangunan bagi suatu wilayah/ kota, oleh karena itu potensi tersebut perlu diberdayakan guna meningkatkan performance kota, dimana pihak yang berkompeten dalam hal tersebut adalah Pemerintahan Kota.
  • Tingkat performance kota, akan tergantung dari sistem transportasinya, termasuk penyelenggaraan angkutan kota. Ketergantungan tersebut diantaranya adalah proporsional dan profesionalisme dari pihak yang terkait, termasuk upaya law inforcement-nya.
PEMBAHASAN
Mensikapi potensi masyarakat beserta mobilitasnya dan kondisi/potensi wilayah beserta pertumbuhan pembangunan kota, serta potensi permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan angkutan umum penumpang khususnya dan sistem transportasi kota pada umumnya, maka perbaikan pada aspek manajemen dan peraturan/perundangan yang relevan harus didasarkan pada suatu hasil studi yang relevan pula dan berkesinambungan. Dengan berorientasi atas fenomena yang cenderung dan berpotensi berkembang di masyarakat, sementara ini ada beberapa hal yang perlu segera (urgen) diperbaiki dalam penyelenggaraan angkutan umum penumpang, antara lain:
  1. Pembenahan rute/jalur dengan mengacu pada konsep supply and demand, untuk menyeimbangkan antara jumlah permintaan/kebutuhan sarana angkutan umum (termasuk pengaturan frekuensinya) dengan jumlah pengguna/penumpangnya. Upaya ini dilakukan untuk menyeimbangkan antara jumlah armada yang tersedia dengan jumlah penumpangnya, dan selanjutnya manakala jumlah calon penumpangnya meningkat maka armadanya bisa ditambah. Selain dari itu, langkah ini juga sebagai upaya menghindari tidak tercapainya target uang setoran oleh pengemudi, sebagai akibat dari minimnya jumlah penumpang.
  2. Pembenahan rute/jalur yang mengacu pada konsep origin and destination, untuk menyesuaikan kecenderungan tujuan perjalanan dari kelompok masyarakat pengguna angkutan kota, serta menghindari atau memperkecil kemungkinan terjadinya rute/jalur yang tumpang tindih (overlap). Langkah ini sekaligus sebagai upaya menghindari/mengurangi terjadinya penumpukan angkutan kota dari beberapa rute/jalur, baik pada ruas-ruas jalan tertentu maupun pada simpang. Lebih dari itu, sekaligus optimalisasi terminal yang sudah ada, tanpa harus mengembangkan terminal atau APK baru lagi. 
  3. Pembenahan dan penetapan prasarana yang relevan untuk menunjang operasi angkutan umum penumpang, misal: tempat berhenti untuk pemuatan - penurunan penumpang, tempat penyeberangan bagi pejalan kaki, dan lain-lainnya.
  4. Perbaikan tarif angkutan yang didasari dengan studi ekonomi (bukan hanya sekedar studi finansial) transportasi, yang didalam implementasinya dimungkinkan dilakukan penyesuaian tarif bagi penumpang umum dan tarif khusus pelajar ataupun mahasiswa (misal: sistem kupon atau sejenisnya). Hal ini bisa dilakukan sebagai upaya menghapus diskriminasi pengguna/ penumpang dan merupakan langkah pemenuhan kebutuhan angkutan umum bagi kelompok pelajar/mahasiswa. 
  5. Penetapan dan pemberlakuan peraturan khusus bagi penyelenggaraan angkutan umum penumpang yang antara lain mencakup: 
  • ketentuan jumlah penumpang yang dapat ditoleransi dengan tanpa mengurangi kenyamanan dan keamanan serta aspek kemanusiawian.
  • ketentuan tarif pasti angkutan kota baik bagi penumpang umum maupun pelajar/ mahasiswa.
  • peninjauan kembali atau mungkin penghapusan atas biaya ijin trayek dan biaya ijin usaha.
  • pengendalian atas masa berlakunya ijin trayek.
  • pemberlakuan sistem rotasi atas ijin trayek pada seluruh rute/jalur.
  • penerbitan surat ijin mengemudi khusus angkutan umum penumpang
  • penetapan biaya-biaya pasti atas retribusi yang harus dibayar dalam setiap operasional angkutan umum penumpang.
  • perangkat sanksi yang relevan terhadap penyimpangan yang dilakukan baik oleh pemilik/ pengusaha angkutan maupun oleh pengemudinya. 
6. Adanya jaminan keamanan dari lembaga terkait sehubungan dengan operasional angkutan umum penumpang atas segala tindakan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (preman, oknum petugas, dan lain-lainnya). 
7. Penyediaan fasilitas pemeliharaan armada yang memadai (kualitas baik - biaya murah), termasuk ketersediaan suku cadang. Langkah ini juga perlu dilakukan untuk mengurangi tingkatan/panjangnya rangkaian distribusi suku cadang dan sekaligus sebagai upaya memperkecil harganya.
8. Penyediaan fasilitas dengan sistem manajemen yang rasional dan transparan sehubungan dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
9. Penerapan sanksi secara tegas dari pihak yang berwenang atas setiap terjadinya pelanggaran/ penyimpangan oleh pemilik/pengemudi angkutan umum penumpang, baik terhadap peraturan/ perundangan lokal (PERDA atau SK Walikota, dan sejenisnya) perundangan lalulintas dan angkutan jalan yang berlaku secara Nasional. Adapun sanksi atas pelanggaran terhadap peraturan/perundangan khusus tersebut hendaknya tidak bersifat materialistik (seperti denda) secara langsung, sebaiknya dilakukan secara edukatif-preventif, mulai dari peringatan (disertai bukti pelanggaran), lebih lanjut berupa penangguhan (skorsing) operasi hingga (paling berat) pencabutan ijin trayek, ijin usaha ataupun surat ijin mengemudi khusus angkutan umum penumpang. Sedangkan bagi pelanggaran terhadap perundangan lalulintas dan angkutan (pada umumnya), tentunya sanksi tetap sesuai dengan perundangan yang berlaku.

KESIMPULAN
Performance suatu kota sangat tergantung dari kualitas kinerja sistem transportasinya, termasuk diantaranya kinerja angkutan umum penumpangnya. Upaya peningkatan kinerja angkutan umum penumpang, selain memperbaiki/meningkatkan pelayanan kepada penggunanya, juga berpotensi mereduksi permasalahan lalulintas kota. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kinerja angkutan umum penumpang yang ‘baik’ maka diperlukan suatu (konsep/rencana) pengelolaan/manajemen yang baik pula (proporsional dan profesional). 

Manajemen penyelenggaraan angkutan umum penumpang, sangat tergantung dari kesadaran dan itikat baik dari semua pihak yang terkait, serta didukung dengan sarana - prasarana yang relevan dan memadai beserta kelengkapannya, berupa kebijakan yang berdasar pada hasil studi yang proporsional serta penegakan peraturan/perundangan yang tegas.

DAFTAR PUSTAKA
  • Sutomo, Heru (1998), Transportasi Berkelanjutan Sebuah Tinjauan Awal, Makalah Simposium I Forum Studi Transportasi Perguruan Tinggi, Institut Teknologi Bandung 3 Desember 1998.
  • Sutomo, Heru (2005) Prioritas Angkutan Umum: Suatu Justifikasi, Makalah Seminar State Of The Art Angkutan Umum Perkotaan Di Indonesia, Unversitas Brawijaya, Malang 30 April 2005.
  • Tamin, Ofyar Z. (2000), Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Edisi Kedua, Penerbit ITB, Bandung.
  • Kelompok Bidang Kehlian Transportasi (1997), Perencanaan Sistem Angkutan Umum, Jurusan Teknik Sipil, ITB.
Blog, Updated at: 17.34.00

1 komentar: