Pages

Senin, 09 Januari 2017

PENGERTIAN ETIKA, DAN KARAKTER MELALUI KARYA SASTRA

PEMBELAJARAN MORAL, ETIKA, DAN KARAKTER MELALUI KARYA SASTRA
Abstrak
Aspek penekanan dalam pengajaran sastra adalah orientasinya pada pengembangan karakter siswa, di samping manfaatnya secara estetis. Penekanan tersebut sudah seharusnya pula menjadi bagian terpenting di dalam pembelajaran sastra yang meliputi empat ranah keterampilan bersastra, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pembelajaran sastra memberikan peluang yang potensial didalam pengembangan pendidikan karakter di samping pengalaman-pengalaman estetis itu sendiri. Pengintegrasian pendidikan karakter, moral, dan etika dalam setiap matapelajaran yang ada dapat dilakukan, termasuk dalam matapelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Karya sastra yang merupakan salah satu materi yang termasuk dalam matapelajaran ini dapat dijadikan sebagai media, wahana pembelajaran etika, moral, dan karakter meskipun tidak lantas karya sastra dijadikan sebagai kitab etika dan moral. 
Kata Kunci: Pembelajaran Moral, Etika, Karakter, Karya Sastra

Pendahuluan
Secara tegas, arah kebijakan pengajaran sastra dinyatakan dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Salah satu yang dijelaskan dalam hal ini adalah tujuan pengajaran sastra, yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan (1) memikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (2) menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Berdasarkan tujuan tersebut, dapat kita cermati bersama bahwa yang menjadi penekanan dalam pengajaran sastra adalah orientasinya pada pengembangan karakter siswa, di samping manfaatnya secara estetis. Penekanan tersebut sudah seharusnya pula menjadi bagian terpenting di dalam pembelajaran sastra yang meliputi empat ranah keterampilan bersastra, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pembelajaran sastra memberikan peluang yang potensial didalam pengembangan pendidikan karakter di samping pengalaman-pengalaman estetis itu sendiri, yang disebut Renne Wellek dan Austin Warren sebagai bentuk ketenangan pikiran[1]. Di samping itu, proses kreatif sastra berdasarkan paradigma dulce et etile—yang dijelaskan sebagai kenikmatan estetis untuk menghibur dan kegunaan etis moral—jelas juga dapat menjadi salah satu wahana belajar etika, moral, dan karakter karena utile dicondongkan pada makna moral. 

Dalam kenyataannya, kondisi, keberadaan, kedudukan di dunia modern seperti saat ini menimbulkan pertanyaan, dapatkah karya sastra-karya sastra tersebut digunakan dan dimanfaatkan sebagai salah satu wahana belajar moral, etika, dan karakter? Sekalipun dapat, efektifkah penggunaannya sebagai wahana pembelajaran etika, moral, dan karakter? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting, sebab, sekalipun sering mengandung muatan moral dan karakter, suatu karya sastra jelas tidak dapat disebut sebagai kitab atau naskah etika, moral, dan karakter? Yang juga kita ketahui, karya sastra, terlebih karya sastra modern jarang sekali atau bahkan tidak sama sekali digunakan sebagai kitab rujukan atau panduan etika dan moral. Bahkan visi misi etis dan moral tertentu biasanya sudah tidak menjadi pertimbangan, sumber utama atau obsesi proses kreatif sang sastrawan.[2] 

Setelah abad kesembilan belas, sastra Barat maupun sastra Indonesia memiliki kecenderungan untuk tidak menonjolkan moral—utile, yang menjadi salah satu paradigma penciptaan sebuat karya sastra. Mengapa demikian? Sebabnya, penonjolan moral dikatakan akan mengurangi nilai estetika karya sastra atau dulce. Begitu pembaca diberi tahu mengenai moral karya sastra yang dihadapinya, apalagi kalau penonjolan itu bersifat menggurui, unsure dulce atau kenikmatan akan berkurang.[3]

Menurut Djoko Saryono, pembelajaran moral dan karakter lebih membutuhkan contoh dan teladan nyata, faktual, dan empiris, bukan sekadar kata-kata, petuah, petitih, dan contoh imajinatif-fiksional seperti dalam sastra modern. Pembelajaran moral dan karakter yang bermediakan sastra modern malah akan menjadi terlalu verbalistis, simplistis dan reduktif (menyederhanakan dan menyepelekan)[4]. Mengapa demikian? Pembelajaran etika, moral, dan karakter mengutamakan tidakan nyata, praksis dalam kehidupan sehari-hari dan membutuhkan contoh atau teladan, sama seperti yang diungkapkan oleh Mohammad Nuh, bahwa setidaknya perlu dua hal utama selain pengajaran—dalam pembelajaran etika, moral, dan karakter—yaitu keteladanan (role model) dan pembiasaan (habituation).[5]

Kadang, pembelajaran etika, moral, dan karakter dipahami oleh sebagian orang dengan pandangan sempit. Pengetahuan dan pemahaman semata, terlebih ceramah dan cerita dapat dijadikan wahana belajar etika, moral, dan karakter. Tidak selalu demikian, sebab pengetahuan dan pemahaman saja tidak cukup membuat seseorang dapat menyelaraskan pengetahuan, ucapan, dan perbuatannya. Hal ini berarti, tindakan bermoral, etis, dan berkarakter, dapat tumbuh dan berkembang dengan baik karena kebiasaan atau praktik berkelanjutan. Hal ini juga dapat kita yakini jika kita menyimak kesimpulan salah satu pendiri dan guru bangsa kita K.H. Hasyim Asy’ari dalam karya klasiknya, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, bahwa semua amal ibadah, baik rohani dan jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai dengan perilaku serta budi pekerti yang terpuji.[6]

Sebagai konsekuensinya, penumbuhan dan pengembangan sikap yang bermoral membutuhkan pelajaran nyata, konkret, dan dapat diteladani dalam kehidupan sehari-hari dalam proses pembiasaan atau habituation, bukan sekadar pembelajaran di kelas, terlebih dalam bidang sastra semata. Kembali ke pertanyaan sebelumnya tentang efektifitas penggunaan karya sastra sebagai wahana belajar etika, moral, dan karakter. Jika telah dikatakan bahwa pembelajaran mengenai hal itu membutuhkan hal-hal yang sifatnya praksis, bukan hanya di kelas, maka bagaimanakah penerapan paradigma dulce et etile yang memberi kenikmatan literer-estetis dan kegunaan etis, moral, spiritual dalam setiap karya sastra modern seperti saat ini dalam kaitannya sebagai wahana belajar etika, moral, dan karakter?

Pemaknaan Sebuah Karya Sastra Sebagai Hasil Cipta Sastra
Karya adalah kerja; pekerjaan[7]; sedangkan sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); pokok budaya yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat atau anggota masyarakat.[8] Sastra juga dikatakan sebagi karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Sementara itu, karya sastra adalah ciptaan yang apabila dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai keunggulan seperti keaslian, keartistikan, dan keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Pengertian tersebut menjadi sangat umum untuk menggambarkan sebuah karya sastra. Sementara, perlu kita sadari, bahwa sastra, baik sastra klasik (lama) maupun sastra modern memiliki pengertian yang sangat sulit untuk dirumuskan secara detail. Rumusan-rumusan yang diajukan oleh para ahli, awam, seniman kerap sekali hanya terbatas pada sebagian kecil fenomena, bahkan sering juga gagal menggambarkan dan menjelaskan pengertian sastra dan semua kompleksitas fenomena dalam sastra karena fenomena-fenomena dalam sastra selalu berubah dan berkembang secara kontinu seiring berkembangnya waktu. Oleh sebab itulah, perumusan pengertian soal sastra cukup kita definisikan sebagai sebuah ciptaan (works) kreatif (inovatif-inventif) manusia yang terekspresikan ke dalam bahasa khas, yang mengedepankan (malah mungkin menomorsatukan) sifat estetis atau keindahan dengan mengandung karakteristik dan fungsi tertentu.[9]

Banyak disebutkan karakteristik sastra oleh para sastrawan, ahli sastra, dan atau ahli kebudayaan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut;
  1. berada dalam dimensi simbolis kebudayaan dengan tetap berhubungan tak terpisahkan dengan dimensi sosial dan material kebudayaan, 
  2. menekankan stilisasi, simbolisasi, dan metafora serta konotasi [bukan proposisi, denotasi dan linieritas] baik dalam struktur maupun suprastruktur,
  3. sangat mengutamakan dan menghargai otentisitas, keunikan, partikularitas, dan intersubjektivitas [bukan keumuman, keteraturan, keempirisan, dan objektivitas ilmiah], 
  4. menekankan kebebasan, keterbukaan, bahkan kemerdekaan tafsir dan penciptaan [bukan kepastian dan ketertutupan penciptaan dan tafsir],
  5.  merupakan wujud sekaligus hasil olah intelektual manusia yang sifatnya imajinatif, literer, dan afektif-kognitif [bukan yang rasional-empiris dan positif],
  6.  diciptakan dengan pandangan, paham, dan sikap tertentu, dan 
  7. selalu terkait-terikat dengan konteks kehidupan manusia [sebab sastra tak mungkin tercipta dari kekosongan].[10]
Dari beberapa macam karakteristik yang telah dijelaskan tersebut, sastra memiliki banyak makna yang berbeda dan hal tersebut menunjukkan bahwa fenomena-fenomena yang terdapat dalam sastra sangat kompleks, sehingga karya sastra selalu memiliki kedudukan dan fungsi tertentu—dalam setiap hal dan tujuan tertentu pula. Karya sastra boleh jadi diciptakan untuk memberikan fungsi kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, dan hiburan. Karya sastra juga bisa berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan imajinasi seseorang. Dalam hal ini dikatakan bahwa sastra memiliki fungsi imajinatif. Karya sastra yang lain, juga dapat memiliki fungsi spiritual, memiliki nilai-nilai moral yang padat dan juga dipenuhi nilai-nilai didaktis yang menggugah dan memotivasi dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individual maupun sosial.

Bagaimanapun bentuk karya sastra tersebut, pemaknaan karya sastra sebagai hasil cipta sastra seseorang—seniman, sastrawan, ahli budaya, guru, awam—akan menjadi berkembang seiring dengan perkembangan waktu. Lagi pula, sepertinya tidak mungkin, jika karya sastra diciptakan tanpa fungsi tertentu (personal-individual dan sosial). Dengan penjelasan yang lain bahwa karya sastra, dengan tujuan dan fungsi apapun, akan tetap eksis dan terus menerus ada dalam kehidupan manusia hingga masa yang akan datang.

Implikasi yang diperoleh dari penjelasan tersebut adalah kedudukan dan keberadaan karya sastra menjadi sangat kompleks. Oleh sebab itulah, fungsi-fungsi karya sastra yang telah disebutkan memberikan efek keberagaman jenis karya sastra. Beberapa jenis karya sastra tersebut adalah sastra lama-sastra baru, sastra lisan-sastra tulis, sastra lokal-sastra nasional-sastra internasional, sastra asli-sastra terjemahan, sastra populer, sastra kontemporer, sastra anak, sastra religius, dan jenis sastra yang memiliki tendensi kepada hal-hal tertentu (politik, sosial, agama, keyakinan). Itulah mengapa karya sastra dikatakan sebagai suatu hal yang sangat kompleks, terlebih dengan diwujudkannya karya sastra dalam berbagai jenis-fungsi-tujuan tertentu menunjukkan betapa majemuknya karya sastra yang ada dalam kehidupan manusia.

Karya Sastra yang Baik
Karya sastra dan karya seni yang baik adalah karya yang mempunyai nilai (value). Nilai tersebut dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat. Berikut adalah beberapa nilai yang terkandung dalam karya sastra.
  • Nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca. 
  • Nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan.
  • Nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, dan kebudayaan.
  • Nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral,and religious value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama.
  • Nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Selain itu, karya-karya tersebut sebaiknya juga dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan, memperkaya pandangan atau wawasan kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai tambahan, karya sastra dan karya seni yang baik yaitu karya yang bisa memberikan katarsis dan sublimasi kepada penikmatnya. Katarsis adalah kemampuan suatu karya sastra maupun seni dalam menjernihkan batin penikmatnya dari segala kompleksitas batin setelah melaksanakan kegiatan apresiasi secara akrab dan sungguh-sungguh sehingga terjadi semacam peleburan antara penikmat dengan dunia-dunia yang diciptakan pengarangnya. Dalam batas tertentu, sublimasi masih dapat dianggap bermanfaat karena melalui sublimasi seringkali penikmat karya sastra ataupun seni mendapat kepuasan atau kesegaran baru.

Sebagai pemahaman lebih lanjut, sepanjang kehidupannya, sastra tidak selalu diciptakan sesuai dengan keharusan aturan-aturan tertentu karena penciptaan sebuah karya sastra setidaknya memiliki empat pendekatan. Pendekatan tersebut adalah pendekatan ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif. Masing-masing pendekatan tersebut memiliki tujuan yang berbeda, sehingga cipta sastra yang ditulis dengan pendekatan berbeda juga akan menghasilkan sebuah karya sastra yang berbeda pula (bentuk, tujuan, fungsi, isi).

Oleh sebab itulah, ada karya-karya sastra yang mengandung muatan etika, moral, karakter yang kental, terdapat juga karya sastra edukatif yang memberikan pelajaran tertentu bagi pembacanya, karya sastra religius yang memberikan penekanan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan, Allah SWT, ekspresi kegembiraan, kesedihan, dan pengalaman pribadi manusia dengan Tuhannya, dan karya sastra yang bernilai praktis, yang dapat memberikan contoh dan mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Akan tetapi, sesegera mungkin harus disadari bahwa terdapat jenis karya sastra lainnya yang berbeda 180 derajat dengan jenis karya sastra tersebut. Ada jenis karya sastra yang sengaja hanya diberi fungsi sebagai kenikmatan atau rekreasi, ada juga jenis karya sastra yang tidak mengandung muatan moral dan etika, serta karakter. Bahkan, ada juga jenis karya sastra yang sengaja tidak diberi nilai-nilai tertentu, sehingga karya sastra tersebut belum dapat dikatakan karya sastra yang baik. 

Judul-judul karya sastra seperti Ramayana, Mahabharata, Wulang Reh, Wedhatama, La Galigo, Malin Kundang, dan Syair Perahu memang sarat dengan muatan etika dan moral, kental fungsi etis, moral, dan edukatif, dan terkesan kuat menjadi penyimpan norma etika-moral dan karakter, sehingga karya-karya sastra tersebut relatif efektif sebagai wahana belajar etika, moral, dan karakter.[11] Hal tersebut karena karya sastra-karya sastra tersebut mengandung nilai-nilai (value) tertentu, yaitu nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral,and religious value), yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama.

Etika, Moral, Dan Karakter
Hakikat moral dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan kepada orang lain—moral dalam karya sastra tulis memiliki arti sesuatu yang ingin disampaikan oleh penulis terhadap pembacanya—yang selalu berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik. Istilah ‘disampaikan’ pada pengertian tersebut, lebih merujuk pada pilihan kata ‘mengajarkan’, sehingga karya sastra hadir dan ditulis sebagai salah satu alternatif untuk memberikan pendidikan dan mengajarkan moral kepada pembaca.[12]

Kehadiran moral dalam karya sastra, dipandang sebagai semacam saran terhadap perilaku moral tertentu yang bersifat praktis, tetapi bukan resep atau petunjuk bertingkah laku.[13] Hal ini menunjukkan bahwa meskipun penciptaan sebuah karya sastra memiliki paradigma dulce et utile, karya sastra tidak mungkin dapat dijadikan sebagai kitab atau naskah etika, moral, dan karakter. Sifat praktis yang dikatakan Burhan Nurgiyantoro dalam hal ini adalah karena ajaran moral tersebut disampaikan lewat sikap dan perilaku konkret seperti yang ditampilkan oleh para tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita tersebut dipandang sebagai model untuk menunjuk dan mendialogkan kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh penulis cerita.

Jenis Moral dan Teknik Penyampaiannya
Jenis moral dapat menjadi berbagai macam jenisnya bergantung dari sudut pandang mana dilihat (point of view). Jika dilihat dari sudut persoalan hidup manusia yang terjalin atas hubungan-hubungan tertentu yang mungkin ada dan terjadi, jenis moral dapat dikelompokkan dalam beberapa persoalan, yaitu persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.[14] Berdasarkan keempat hubungan tersebut, moral diperinci ke dalam jenis-jenis tertentu, yang dapat dipandang sebagai variannya, yang secara konkret ditemukan dalam sebuah cerita dengan jumlah yang relatif banyak. 

Teknik penyampaian moral dalam sebuah karya sastra tidak berbeda dengan penyampaian tema cerita, misalnya. Teknik penyampaian moral ini dapat dilakukan secara eksplisit dan implicit, atau langsung dan tidak langsung.[15] Teknik penyampaian secara langsung pada umumnya berwujud petuah langsung oleh penulis karya sastra—lazimnya dalam bentuk narasi—dan tidak menjadi bagian aksi-reaksi alur dan atau karakter tokoh dalam cerita. Sebaliknya, teknik penyampaian secara tidak langsung dilakukan melalui jalinan cerita dan karakter tokoh. Hal tersebut dapat dipahami karena karya sastra, misalnya cerita fiksi, tidak lain adalah kisah tentang tokoh dan tokoh-tokoh itulah yang merupakan pelaku dan penderita peristiwa/konflik. Lewat ajaran moral yang disaksikan dalam karya sastra itulah, harapannya pembaca bisa terbantu dalam memahami, menjalani, dan menghadapi tantangan dalam kehidupan.

Karakter dan Pendidikan Karakter
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.[16] Seorang ahli teori sosial di George Washington University, Amitai Etzioni, menurut Daniel Goleman, juga menulis bahwa karakter sebagai bakat psikologis yang dibutuhkan oleh perilaku moral. Artinya, karakter dan moral adalah dua hal yang sangat identik.[17] Sehingga pembicaraan mengenai kedua hal ini, termasuk di dalamnya hal-hal mengenai perbuatan etis tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Adapun yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Allah SWT, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan. Dalam praktiknya, pendidikan karakter memiliki beban untuk mengajarkan dua tugas penting, yaitu tugas untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan tugas untuk mengembangkan kemampuan moral. Pengembangan kemampuan intelektual memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang cerdas dan memiliki ketajaman intelektual, sedangkan pengembangan kemampuan moral memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang memiliki integritas diri dan berkarakter kuat.[18] 

Karena tugas-tugas yang membebani pendidikan karakter itulah, di sekolah, pendidikan karakter diintegrasikan dalam suatu pembelajaran tertentu dan dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengembangan kemampuan intelektual dan moral, seperti yang tadi sudah disampaikan, dapat berjalan beriringan. Permasalahannya, melaksanakan dua tugas secara bersamaan bukanlah pekerjaan yang mudah, terlebih kondisi pendidikan yang kita ketahui bersama saat ini menghadapi banyak persoalan. Selain itu, praktik pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kehadiran model sangatlah penting di dalam fase pertumbuhan dan pembentukan siswa melalui proses imitasi dan identifikasi.[19]

Sastra Dalam Hubungannya Sebagai Media Pembelajaran Etika, Moral, Dan Karakter
Pendidikan dan pembelajaran mengenai etika, moral, dan karakter sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan. Perkembangan dunia yang semakin maju seperti sekarang ini seolah menuntut semua manusia untuk memiliki penyaring (filter) yang kuat dalam menghadapi arus kehidupan global yang semakin membahayakan. Salah satu filter yang harus dimiliki setiap individu dan sekarang ini sedang dalam pelaksanaan pendidikan adalah pendidikan moral dan karakter. Mengapa demikian penting pendidikan moral, etika, dan karakter ini? Jawabannya adalah karena pendidikan moral, etika, dan karakter tersebut menjadi resep paling tepat untuk menyelesaikan persoalan yang selama ini melanda bangsa Indonesia.

Pendidikan memang bukanlah sekadar transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai alat wahana pembentukan kepribadian (character building), mulai dari pola pikir, kejiwaan dan pola tingkah laku (attitude). Oleh sebab itulah, ada kaitan yang sangat penting jika menggabungkan pendidikan (yang berorientasi pada kecerdasan berpikir) dengan pendidikan (yang berorientasi pada pengembangan kemampuan moral memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang memiliki integritas diri dan berkarakter kuat). Sekali lagi dikatakan, bahwa penanaman pendidikan karakter tidak dapat dilakukan dengan cara menghafal setumpuk dalil dan teori tentang kebaikan, kejujuran, ketulusan, dan karakter luhur lainnya. Hal tersebut memang penting, namun tidak cukup. “The dimensions of character are knowing, loving, and doing the good”, kata Thomas Lickona[20] yang diartikan bahwa dimensi karakter adalah mengetahui atau pengetahuan tentang kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan. Jadi, tidak perlu ada yang meragukan perlunya pembentukan karakter di semua jenjang pendidikan. Sebab, bila seseorang kehilangan karakternya, ia kehilangan sisi genuine-nya dan kehadirannya di publik kehilangan kemanfaatan.[21]

Untuk itulah, pendidikan moral, etika, dan karakter ini perlu dilaksanakan dengan baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Sekali lagi, pembelajaran mengenai hal ini membutuhkan contoh nyata, keteladanan (role model) dan pembiasaan (habituation), agar mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu terbentuknya manusia etis, bermoral, memiliki integritas yang tinggi, dan berkarakter kuat.

Menurut Inayat Khan, kebaikan adalah panggilan fitrah dan agama diturunkan Tuhan untuk mengembangkan bakat bawaannya tersebut dan pendidikan menuntunnya agar terhindar dari salah arah. Selain itu, neurosains juga membuktikan bahwa otak manusia dirancang sedemikian rupa sehingga bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman; berbagi itu menyenangkan. Jadi, kebaikan itu sejatinya tak perlu dijejalkan dari luar. Cukup dengan cerminan yang memantulkan kilau kebaikan dalam diri mereka.[22]

Sementara itu, penjelasan mengenai pembiasaan untuk berbuat baik dijelaskan dengan pengertian bahwa pembentukan karakter yang luhur tidak dapat mungkin langsung dicapai dengan tiba-tiba. Ia membutuhkan tahapan-tahapan layaknya mengukir, memahat, melukis (Inggris: ‘to engrave’), yang merupakan arti dari charassein (Yunani: karakter). Sembari memahami hakikat tentang pembiasaan tersebut, mari kita ingat pesan melalui lagu kasidah: belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu (at-ta’allum fis shighari ka an-naqsyi ‘alal hajari).[23] Dari lagu kasidah itu pun, dijelaskan bahwa pembentukan kebiasaan yang dilakukan di masa kecil akan lebih melekat jika dibandingkan dengan pembentukan kebiasaan yang dilakukan di masa dewasa. Jadi, pembiasaan tersebut mentransformasikan suatu nilai menjadi budaya-kebiasaan-habit. Dari knowing the good menjadi habit of the mind, dari desiring the good menjadi habit of the heart, dan dari doing the good menjadi habit of action.

Penerapannya di Sekolah
Jika penjelasan mengenai pembelajaran karakter sudah dipahami, lalu bagaimanakah penerapan penanaman karakter, etika dan moral tersebut, khususnya dalam dunia pendidikan? Sementara, jika kita mau berpikir, kurikulum sekolah sudah penuh sesak dengan matapelajaran yang sudah ada, sehingga tidak mungkin memunculkan matapelajaran etika, moral, dan karakter. Jika pun dimunculkan, matapelajaran ini akan membuat beban siswa bertambah. Tak hanya siswa, guru dan kepala sekolah akan dibuat lebih pusing. Oleh sebab itulah, pendidikan etika, moral, dan karakter pada akhirnya diintegrasikan dalam matapelajaran-matapelajaran yang ada seperti yang saat ini sedang dilakukan.[24] Salah satunya adalah matapelajaran bahasa dan sastra Indonesia. 

Matapelajaran ini memberikan peluang untuk menggabungkan, mengintegrasikan, dan menyisipkan pembelajaran etika, moral, dan karakter di dalamnya. Dengan materi bahasa dan sastra, siswa dapat diajak untuk melakukan apresiasi, refleksi, dan kontemplasi persoalan-persoalan etis dan moral yang tercermin dalam karya sastra yang menjadi materi ajar.[25] Selain itu, ada beberapa nilai strategis dari sastra yang bermanfaat bagi siswa. Pertama, secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan utnuk menyukai realita dan fiksi. Kedua, karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi dan melalui sastra, pembaca belajar bagaimana orang lain menyikapi semua itu. Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang seyogyanya diwariskan secara turun-temurun lewat pendidikan. Keempat, berbeda dengan keterampilan berbahasa (menyimak, menulis, berbicara, membaca), sastra memiliki isi, yakni nilai-nilai dan interelasi kehidupan. Kelima, melalui sastra, siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa yang mengoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal dan kolektif.[26]

Pendekatan Pembelajaran Sastra
Dalam hubungan ini—antara nilai-nilai yang terdapat dalam sastra dan praktik pembelajaran etika, moral, karakter—diperlukan pendekatan yang tepat[27] dan disarankan untuk memilih materi yang juga tepat dan cocok untuk memberikan pengalaman etis dan moral, serta diharapkan dapat menumbuhkan karakter luhur siswa. Karena, seperti yang telah disinggung di muka, karya sastra memiliki berbagai macam jenis dengan tujuan-tujuan yang tidak dapat disamakan, sehingga pemilihan jenis karya sastra juga menjadi poin penting untuk dilakukan agar penyampaian dan penanaman moral, etika, dan karakter melalui karya sastra tercapai dengan baik.

Beberapa pendekatan pembelajaran sastra yang mungkin dilakukan antara lain pendekatan moral, apresiasi, estetika dan stilistika, resepsi sastra, dan tidak terkecuali pula dengan hermeneutik sebagai ilmu tafsir teks.[28] Pada dasarnya, semua pendekatan tersebut baik, hanya saja dalam penerapannya memang harus disesuaikan dengan kemampuan pembelajar (dalam hal ini adalah guru sastra) dan disesuaikan juga dengan kondisi dan kemampuan pebelajar (siswa). Yang juga menjadi pemeran penting lainnya adalah buku-buku sastra atau karya sastra yang dijadikan sebagai materi ajar. 

Dengan membaca sastra, pembaca akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui sastra, pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya. Ruang yang tersedia dalam karya sastra itu membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pribadi yang kritis dan bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman seseorang membaca sastra telah membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar serta berbagai manusia dengan beragam karakter.[29]

Salah satu contoh pembelajaran moral, etika, dan karakter yang dapat dilakukan melalui karya sastra adalah dengan menggunakan salah satu pendekatan sastra (misalnya, pendekatan apresiasi dan kritik sastra). Guru memberikan cerita mengenai legenda Sangkuriang dengan Gunung Tangkuban Perahu atau dongeng Malinkundang dengan sosok batu di suatu tempat yang mirip dengan manusia. Siswa diajak untuk bersama-sama membaca, memahami, dan menghayati cerita dalam karya sastra tersebut, kemudian memberikan apresiasi dan kritik mengenai karya sastra tersebut. Kedua karya sastra tersebut dapat digunakan sebagai materi ajar karena mereka memiliki nilai-nilai yang dapat diambil hikmah serta diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari. Dengan berbekal wawasan dan apresiasi yang mendalam mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, secara perlahan dan bertahap, akan dapat membentuk pribadi siswa yang kuat dengan motivasi dan kontrol diri yang baik. Selain itu, guru juga dapat membuat pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dengan mengajar siswa untuk menelaah karya sastra tertentu kemudian merenungkan persoalan-persoalan moral, etis yang diperoleh dalam karya sastra. Serta, siswa diajak untuk menerapkan proyek dengan membuat laporan tentang pengalaman etis dan moral dalam kehidupan sehari-hari dan kemudian mendiskusikannya.[30]

Dengan cara-cara dan tertentu,[31] karya sastra jelas dapat digunakan secara efektif sebagai salah satu media pembelajaran moral, etika, dan karakter di sekolah. Sehingga, dengan pembelajaran sastra yang berkelanjutan, karakter luhur, etika, dan moral yang baik siswa, secara perlahan akan dapat terwujud.

Penutup
Pendidikan karakter sudah sering menjadi pembahasan berbagai kalangan, terutama di kalangan pendidikan. Hal ini karena adanya fakta bahwa siswa sebagai produk pendidikan belum kuat secara kemanusiaan, serta kepribadiannya masih lemah sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal dari luar. Karena itulah, tugas penanaman etika, moral, dan karakter bukan hanya menjadi tugas orang tua sebagai pendidik di rumah, tetapi juga perlu dilaksanakan melalui pendidikan di sekolah. Pengintegrasian pendidikan karakter, moral, dan etika dalam setiap matapelajaran yang ada dapat dilakukan, termasuk dalam matapelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Karya sastra yang merupakan salah satu materi yang termasuk dalam matapelajaran ini dapat dijadikan sebagai media, wahana pembelajaran etika, moral, dan karakter meskipun tidak lantas karya sastra dijadikan sebagai kitab etika dan moral. Untuk diperhatikan, pembelajaran moral, etika, dan karakter melalui karya sastra harus dipilih dengan baik agar karya sastra yang dijadikan materi ajar sesuai dan dapat secara maksimal dijadikan sebagai wahana dan media pembelajaran etika, moral, dan karakter. Dan, jika pemilihan materi ajar dari karya sastra telah dipilih dengan bijaksana dan sesuai, serta disampaikan dengan cara, media, dan sarana yang tepat, maka pembentukan karakter secara perlahan-lahan (sabar), dengan proses yang berkesinambungan (istiqamah), serta cara-cara kreatif dan inovatif (thariqah ahammu minal maddah) akan dapat dicapai dengan baik.

Daftar Pustaka
  1. Al- Banjari, R. R. 2008. Membaca Kepribadian Manusia Seperti Membaca Alquran. Jogjakarta: Diva Press.
  2. Asy’ari, Hasyim. 2010. Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Jombang: Tebuireng.
  3. Chaedar, Al Wasilah. “Pengajaran Berbasis Sastra” dalam http://www.pikiran-rakyat.com, (diakses tanggal 28 April 2013).
  4. Darma, Budi. 2004. Pengantar ke Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
  5. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  6. Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EQ Lebih Penting Daripada IQ, T. Hermaya (terj.). Jakarta: Gramedia.
  7. Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. 
  8. Kosasih, E. 2013. Sastra Klasik sebagai Wahana Efektif dalam Pengembangan Karakter. Bandung: UPI.
  9. Lickona, Thomas. 2004. Character Matters. New York: Touchstone.
  10. Nuh, Mohammad. 2014. Menyemai Kreator Peradaban. Jakarta: Zaman.
  11. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Jogjakarta: Gajah Mada Universitu Press.
  12. Patria, Bekti. “Pembelajaran Sastra dan Penanaman Karakter” dalam http://bektipatria.wordpress.com/2010/09/01/sastra-dan-pendidikan-karakter/. Diakses tanggal 7 Juni 2011.
  13. Saryono, Djoko. 2011. Kesusastraan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. 
  14. Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
  15. Wellek, Renne dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan, Melani Budiarta (terj.). Jakarta: Gramedia.
  • [1] Renne Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusastraan (terjemahan Melani Budiarta). (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 35.
  • [2] Djoko Saryono, Kesusastraan (Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 2011), hal. 1.
  • [3] Budi Darma, Pengantar ke Teori Sastra ( Jakarta: Pusat Bahasa, 2004), hal. 20- 21.
  • [4] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 2.
  • [5] Mohammad Nuh, Menyemai Kreator Peradaban (Jakarta: Zaman, 2014), hal. 76.
  • [6] Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’allim (Jombang: Tebuireng, 2010), hal. 112.
  • [7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 645.
  • [8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ibid, hal. 1272
  • [9] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 4.
  • [10] Djoko Saryono, Ibid., hal. 4- 5.
  • [11] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 6.
  • [12] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2010), hal. 265.
  • [13] Burhan Nurgiyantoro, Ibid.
  • [14] Burhan Nurgiyantoro, Ibid., hal. 266.
  • [15] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak, hal. 267.
  • [16] E. Kosasih, Sastra Klasik sebagai Wahana Efektif dalam Pengembangan Karakter (Bandung: UPI, 2013), hal. 226.
  • [17] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EQ Lebih Penting Daripada IQ, T. Hermaya (terj.) (Jakarta: Gramedia, 1997), hal. 406.
  • [18] Doni Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2007), hal. 118.
  • [19] R. R. Al-Banjari, Membaca Kepribadian Manusia Seperti Membaca Alquran (Jogjakarta: Diva Press, 2008), hal. 310- 311.
  • [20] Thomas Lickona, Character Matters (New York: Touchstone, 2004), hal. 74.
  • [21] Mohammad Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, hal. 74.
  • [22] Mohammad Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, hal. 77.
  • [23] Mohammad Nuh, Ibid.,
  • [24] Kurikulum 2013 atau Pendidikan Berbasis Karakter adalah kurikulum baru yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi.
  • [25] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 9.
  • [26] Al Wasilah Chaedar, “Pengajaran Berbasis Sastra” dalam http://www.pikiran-rakyat.com, diakses tanggal 28 April 2013.
  • [27] Pendekatan yang digunakan dapat berupa pendekatan moral, apresiasi, estetika dan stilistika, resepsi sastra, dan tidak terkecuali pula dengan hermeneutik sebagai ilmu tafsir teks. Lihat dalam E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
  • [28] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 34.
  • [29] Bekti Patria, “Pembelajaran Sastra dan Penanaman Karakter” dalam http://bektipatria.wordpress.com/2010/09/01/sastra-dan-pendidikan-karakter/. Diakses tanggal 7 Juni 2011
  • [30] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 10.
  • [31] Ada beberepa komponen-komponen penting di dalam pengembangan strategi pembelajaran sastra, yaitu penggalian potensi siswa, pengembangan materi, penggunaan metode yang kreatif dan inovatif, pemanfaatan media yang tepat, dan penyusunan perangkat evaluasi yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar