FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTHAKHIR

Posted By frf on Rabu, 28 Desember 2016 | 06.44.00

NOVEL-NOVEL PUTU WIJAYA: FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTHAKHIR
Abstract
Author will not begin their making of literary works with “culture blank”. Issues of time and society for certain periods influence the chosen themes men of literature express in creating the works. Shift in choosing themes is due to that in the case of time and social issues.

It indicated that development of Indonesian literature is natural. In other word, great and varied literary programs occurred constitute depiction and continuation of changing social process. It is included the surprising development found in the works of Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, and Budi Drama as well. The development is called climax for the process of change occurred.

In describing the phenomena met in the development of Indonesian novel, it will be discussed in this writing some aspect of novelty, especially those found in Putu Wijaya’s novels. The aspect are (1) alienated humans: characters in Putu Wijaya’s novels, (2) novelty of world of conscious and subconscious, (3) techniques f stream of consciousness, and (4) plotting models.
Key word : alienated, conscius, subconsciuos, and consciousness

A. Pengantar
Karya sastra dan kehidupan merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam kedirian masing-masing sebagai sesuatu yang eksistensial (Suyitno, 1986:3). Hal itu mengandung pengertian, karya sastra dan kehidupan nyata selain memiliki otonomi tersendiri, keduanya memiliki hubungan timbal balik. Kebe­rangkatan pengarang dalam menciptakan karya sastra diilhami oleh fenomena kehidupan. Akan tetapi, tidak berarti setiap fenomena yang muncul akan direkam kemudian dilaporkan. Untuk menghasilkan karya yang baik tentu masih perlu adanya proses kreatif. Proses kreatif dilakukan dengan sebelum memberi interpretasi fenomena kehidupan untuk selanjutnya dituangkan dalam karya sastra.

Membicarakan keterkaitan antara sastra dengan kehidupan Rudolf Unger (dalam Wellek, 1990:141) menyatakan, sastra bukanlah filsafat yang diterjemahkan dalam ben­tuk pencitraan, melainkan ekspresi atau sikap umum terhadap kehidupan. Lebih lanjut Unger menjelaskan, permasalahan yang digarap sastra antara lain (1) masalah nasib, yakni hubungan antara kebabasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam, (2) masalah keagamaan, (3) masalah mitos dan ilmu gaib, (4) masalah yang menyangkut konsepsi manusia, hubungan manusia dengan kematian dan konsep cinta, dan (5) masalah masyarakat dan keluarga.

Masih terkait dengan pembicaraan di atas, Damono (1984:1), mengatakan dalam karya sastra tersirat gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial. Dalam hal ini kehidupan mencakup (1) hubungan antarmasyarakat, (2) antarmanusia, (3) antarmasyarakat dengan orang-seorang, dan (5) pantulan hubungan orang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

Persoalan zaman dan kemasyarakatan dari kurun waktu tertentu berpengaruh pada pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan dalam karya-karyanya. Pergeseran persoalan zaman dan persoalan kemasyarakan akan menyebabkan pergeseran pemilihan tema.

Esten (1987:49) mencatat perkembangan tema novel Indonesia dimulai dari zaman Balai Pustaka yaitu: (1) tema-tema yang dipilih adalah tema yang dirasakan sebagai persoalan masyarakat secara kolektif dalam jangkauan terbatas, (2) tema tidak lagi menyangkut persoalan suatu masyarakat tertentu tetapi menuju pada persoalan masyarakat yang lebih luas (bangsa), (3) tema berkembang ke arah permasalahan yang lebih fundamental dari sudut kemanusiaan, lebih universal dan humanitis.

Selanjutnya Esten (1987:50) menjelaskan perkembangan tema bergerak dari persoalan yang bersifat kolektif dengan ikatan-ikatan sosial yang lebih terpadu menuju ke persoalan-persoalan yang lebih bersifat individual. Penampilan persoalan-persoalan yang bersifat individual tersebut memberikan kemungkinan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam ikatan-ikatan sosial. Bahkan secara ekstrim persoalan individual ditarik menjadi bagian penting sehingga terlepas darti ikatan-ikatan sosial yang ada. Akan tetapi, mengingat kedudukan manusia di samping sebagai makhluk individu juga bagian dari kelompok sosial, persoalan individu yang dimunculkan pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat personal. Dalam arti persoalan tersebut juga merupakan persoalan yang dialami dan dirasakan oleh setiap orang, persoalan manusia dan kemanusiaan.

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS CERITA FIKSI
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=3534590760438366745;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=97;src=link

Berdasarkan hal di atas Mursal Esten sampai pada suatu kesimpulan, perkembangan kesusastraan Indonesia, termasuk di dalamnya novel, merupakan suatu proses yang wajar. Dengan kata lain, bagaimanapun hebat dan bervariasinya perkembangan sastra, ia masih tetap merupakan gambaran dan lanjutan dari proses masyarakat yang sedang berubah. Termasuk juga dalam hal ini perkembangan yang mengagetkan pada karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, dan juga Budi Darma. Perkembangan yang ada pada pengarang-pengarang di atas disebut sebagai klimaks dari sautu proses perubahan yang terjadi.

Sebagai upaya menjelaskan fenomena dalam perkembangan novel Indonesia, pada tulisan ini akan dibahas aspek kebaruan, khususnya pada novel karya Putu Wijaya. Aspek kebaruan yang dimaksud yaitu (1) manusia-manusia teralienasi (terasing), tokoh-tokoh dalam novel Putu Wijaya, (2) pembauran alam sadar dan alam bawah sadar, (3) teknik arus kesadaran (stream of conciousness), dan (4) model pengaluran.

B. Manusia-manusia Teralienasi: Tokoh-tokoh dalam Novel Putu Wijaya
Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, persoalan zaman dan kemasyarakatan kurun waktu tertentu berpengaruh pada pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan dalam karya-karyanya. Pergeseran persoalan zaman dan persoalan kemasyarakatan akan menyebabkan pula pergeseran pemilihan tema. Demikian pula halnya dengan persoalan zaman dan kemasyarakatan saat ini, terutama menyangkut modernisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi. Persoalan tersebut juga tak luput dari pencermatan para sastrawan yang pada akhirnya menjadi aspek tema yang dituangkan dalam karya sastra.

Kenyataan membuktikan bahwa kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi telah banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Manusia semakin lama semakin terikat dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia tetapi sudah terintegrasi dengan manusia. Dalam kondisi demikian itulah manusia akan menjadi terkukung oleh kemajuan itu sendiri.

Kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Perkembangan selanjutnya teknologi justru menenggelamkan manusia dalam suatu rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan akhirnya mengalami keterasingan (alienasi). Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik, organisasi, dan sistem yang diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam keadaan ini manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri tetapi telah mengalami detotalisasi dan dehumanisasi (Erich Form, dalam Poespowardojo, 1988:83).

Kondisi yang digambarkan tersebut merupakan gejala sosial yang umum terjadi pada masyarakat modern. Budi Darma (1995:134) menyebut keterasingan (alienasi) pada awalnya merupakan gejala sosial dalam masyarakat modern. Keterasingan itu sendiri merupakan salah satu tema yang ada dalam telaah filsafat eksistensialisme. Selain tema keterasingan dalam eksistensialisme dibahas pula tentang (1) subjektivitas, (2) kebebasan, (3) kegagalan, dan (4) kematian (Koeswara, 1987:9; Hasan, 1992:7).

Manusia dengan segala keterasingannya itulah yang ditampilkan dalam novel-novel Putu Wijaya. Kuntowijoyo (1984:131) menyebut karya Putu Wijaya merupakan wujud dari karya sastra eksistensialis. Sastra eksistensialis yang bermula dari filsafat eksistensialisme, menghadapkan individu dengan masyarakatnya dalam sebuah pertarungan eksistensial. Dalam hal ini individu telah disudutkan oleh masyarakatnya dan ia menjadi bagian yang dengan sia-sia menegakkan eksistensinya dengan segala macam cara.

Ditegaskan oleh Kuntowijoyo, orang-orang (tokoh) dalam sastra demikian merupakan wakil dari ide keterasingan. Tokoh-tokoh tidak mempunyai watak dan hanya mempunyai perilaku. Perilaku para pelakunya adalah perilaku sosial, karena mereka hanya mempunyai karakter ideal. Tokoh-tokoh yang ditampilkan tidak terasa sebagai tokoh konkret yang mudah diamati secara empiris. Tokoh-tokoh yang ditampilkan tampak jelas sebagai wujud dari ide. Oleh karena perilaku mereka lahir dari ide dan bukan dari psike, perbuatan-perbuatan mereka semata-mata hanya dapat ditangkap dalam hubungannya dengan ide.

Penampilan tokoh-tokoh, khususnya tokoh utama, dalam novel Putu Wijaya digambarkan sebagai tokoh yang mencoba mencari jawab setiap persoalan yang dialami walaupun ia sendiri sadar bahwa jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Sebagaimana tokoh pada sastra eksistensialisme, tokoh-tokoh dalam novel Putu Wijaya dibiarkan secara bebas mengembara melalui pikiran dan ide-idenya. Pengembaraan terebut dilakukan dengan kebebasan yang “luar biasa” sebagai bagian dari upaya mengatasi keterasingan yang dialami.

Novel Telegram, diawali dengan cerita tentang seseorang (tokoh aku) yang menerima atau merasa menerima sebuah telegram. Telegram baginya merupakan sesuatu yang menakutkan karena selalu membawa kabar yang menyedihkan. Belum sempat membuka apa isi telegram tersebut, pikiran dan perasaan tokoh aku sudah mengembara dengan bebas ke mana-mana. Justru inilah yang menurut Teeuw (1989:208) merupakan wujud dari keterasingan manusia. Kekacauan antara kenyataan dan khayalan dapat menimbulkan keterasingan dan krisis identitas.

Dalam novel Stasiun ditampilkan seorang lelaki tua sebagai tokoh utama cerita. Seorang lelaki tua tanpa latar belakang atau tujuan yang jelas, yang tidak tahu ke mana harus pergi dan tidak juga mempunyai peranan dalam masyarakat.

“…. Sebuah kereta memekik. Itu adalah kereta dalam hidup-nya sendiri yang tak pernah sampai ke stasiun yang ditujunya. (Stasiun, hal 45)

Sebagaimana diungkapkan Prihatmi (1990:87) kutipan di atas merupakan inti persoalan yang ditampilkan oleh Putu Wijaya dalam novel Stasiun. Manusia memang tidak akan pernah mencapai tujuannya, sampai kapan pun. Ironisnya manusia juga tidak pernah dapat melawan kemauan di luar dirinya untuk melakukan perjalanan terus menerus agar dapat mencapai tujuannya yang ia tahu tak akan pernah tercapai.

Latar stasiun dan seorang lelaki tua merupakan dua hal yang tepat untuk menampilkan aspek keterasingan manusia. Stasiun dengan segala kesibukan, kesemrawutan, kekacauan, dan gambaran keberangkatan dan kedatangan merupakan latar belakang yang tepat untuk menggambarkan seseorang yang diancam oleh keterasingan. Sementara itu, pilihan seorang lelaki tua yang tanpa identitas dan bahkan tidak yakin terhadap keberadaan dirinya menjadi penanda yang jelas tentang manusia yang teralienasi. Manusia yang tidak dipandang oleh siapa pun, disisihkan oleh kehidupan dan sia-sia mencari pembelaan atas keberadaan serta tujuan perjalanan yang sepi (Teeuw, 1989:9).

Karya Putu Wijaya lainnya yang berjudul Byar Pet juga menampilkan tokoh yang mengalami hal serupa. Novel diawali dengan cerita tentang tokoh aku (tokh utama) yang berangkat pergi ke Jakarta. Di tengah perjalanan disadari bahwa dompet dan buku catatanya tertinggal.

Dari sinilah tokoh utama memulai petualangannya. Dalam usahanya mencari orang yang tak diketahui namanya lagi, ia masuk ke dalam masyarakat yang hiruk pikuk dengan segala tindakan yang sulit dipahami. Dalam kesendirian dan kegalauannya itu beberapa kali ia berhasil masuk ke dalam dirinya sendiri. Ternyata dalam dirinya pun sedang berlangsung tanya jawab yang meletihkan, yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Sapardi (1995:iii) dalam pengantar novel ini menegaskan adanya satu motif dasar dalam mitos, termasuk dalam sastra Indonesia modern, yaitu kehilangan — mencari —menemukan. Hal itulah yang ingin diungkap Putu Wijaya dalam novel ini. Tokoh utama ini tidak ber-KTP dan tidak membawa catatan yang merupakan sandaran ingatannya, mencari seseorang yang juga terlupa namanya, dan akhirnya menemukan dirinya di tempat asalnya.

Dalam novel lainnya yang berjudul Pol, sebagaimana karya Putu pada umumnya mengangkat masalah yang mungkin bagi kebanyakan orang adalah masalah yang sepele, yaitu masalah mimpi. Cerita diawali saat Aston, tokoh utama novel ini, telah bermimpi. Yang perlu dicatat adalah Aston mimpi bertemu dengan Semar. Semua orang menjadi gempar mendengar hal itu. Semua orang menaruh perhatian pada diri Aston. Mimpi Aston tentang Semar telah membawanya ke dalam “dunia” lain yang seakan-akan tak terbatas.

Aston, tokoh utama dalam novel ini adalah gambaran manusia yang tersisih. Dia seorang pengangguran dan mempunyai anak banyak. Dia merasa gagal dalam hidup. Dia menjadi tidak berarti di antara manusia yang lain, bahkan di hadapan Warni, istrinya sendiri. Keterasingan Aston semakin menjadi-jadi pada saat Ayat, tokoh lain novel ini yang selalu menjadi saingan Aston, bermimpi tentang Tuhan. Aston kembali menjadi orang pinggiran yang selalu dikejar-kejar oleh tukang kredit.

Keterasingan manusia adalah keterasingan bagi tubuhnya sendiri yang ditemui pada diri orang lain. Keterasingan manusia terhadap diri sendiri disebabkan oleh persoalan “berada” dan “memiliki”. Hal itulah yang membuat manusia selalu tertutup atas kehadiran orang lain dan terjerumus karena keinginan untuk memperluas miliknya (Gabriel dalam Dagun, 1990:93).

Keterasingan manusia terjadi karena eksistensinya tidak mampu melampaui kekuatan-kekuatan di luar dirinya sehingga ia merasa asing dan akhirnya menyerah pada kekuatan tersebut. Dalam keterasingan tersebut manusia mengalami keterputusan dengan sesama, kehilangan kontak dengan alam serta Tuhannya dan merasa sendiri dalam individualitasnya. Akhirnya dalam keadaan seperti itu individu akan menemukan dirinya tidak berdaya, tidak berharga, dan kehilangan gairah hidup (Binswanger dalam Koeswara, 1987:24).

Seseorang yang mengalami keterasingan dapat diketahui dari ciri penanda yang melekat pada dirinya. Ciri penanda tersebut dapat ditemukan melalui sikap, pikiran dan tingkah laku. Ciri penanda yang dimaksud yaitu (1) kesepian, (2) kekosongan jiwa, dan (3) kecemasan.

Wujud kesepian, jiwa yang kosong, dan bentuk-bentuk kecemasan tersebut dapat dirunut pada tokoh-tokoh yang ada pada novel-novel Putu Wijaya. Melalui tokh-tokoh tersebut pengarang ingin membuat orang sadar akan kondisi kemanusiaan yang ada tanpa pretensi memberikan petunjuk pemecahannya (Kuntowijoyo, 1984:131).

C. Pembauran Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar
Budi Darma (1984:141) berkesimpulan bahwa pengarang yang baik selalu dapat menemukan tema dasar yaitu hakiki manusia dan kemanusiaan. Mengutip pendapoat Mochtar Lubis, Darma menjelaskan wilayah pengarang sangat luas, seolah-olah tanpa batas. Yang pelik bagi pengarang adalah “menjelajah ke ruang dalam” manusia itu sendiri. Manusia adalah teka-teki, sukar diukur dan sukar diduga.

Pengarang harus mempunyai kekuatan mata seperti ronsen yang dapat menembus tubuh manusia dan seperti televisi yang kuat, dapat menangkap gambar dari pemancar-pemancar yang jauh. Telinganya harus mempunyai resepsi yang tinggi sehingga dapat mendengar suar-suara yang jauh. Pengerahan semua indera tersebut pada dasarnya bermuara pada upaya pengungkapan aspek-aspek hakiki manusia dan kemanusiaan ke dalam karya yang dihasilkan. Hal itulah yang menjadi bagian penting dalam sastra. Salah satu hakikat karya sastra adalah menggambarkan manusia sebagaimana adanya. Karya sastra yang baik akan mengajak pembaca melihat karya tersebut sebagai cermin dirinya sendiri.

Dalam persepktif psikologi, manusia dipandang seperti gunung es. Aspek-aspek kesadaran yang menjadi ciri penanda keberadaan manusia sebenarnya hanyalah puncak gunung es tersebut. Banyak aspek bawah sadar manusia yang dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan dalam upaya menemukan hakiki kemanusiaan. Manusia tidak selamanya identik dengan apa yang tampak pada dirinya (alam kesadaran), tetapi termasuk juga apa yang ada dibalik penampakan itu sendiri (alam bawah sadar).

Putu Wijaya sebagai pengarang menyadari betul apa yang menjadi permasalahan pokok dalam bercipta sastra sebagaimana diuraikan di atas. Sapardi Djoko Damono (1995:iii) menyebut Putu sebagai novelis sejati. Kesejatian yang dimaksud yaitu kemampuannya merekam segala sesuatu – sampai hal yang sekecil-kecilnya – yang berlangsung di sekitarnya. Semua pancaindera dikarahkan dengan seksama untuk menangkap apa saja yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Ditegaskan Sapardi, Putu tidak sekadar merekam dan mencatat tetapi memberikan tanggapan, mempertanya­kan dan mencurigainya.

Kembali pada hakikat sastra sebagai pengungkapan hakiki manusia, dalam berkarya juga ada tuntutan bagi pengarang untuk mengungkapkan kehakikian manusia tersebut. Salah satunya melalui penggabungan antara alam sadar dan alam bawah sadar manusia yang direfleksikan ke dalam karya sastra yang dihasilkan. Semua itu berdasarkan pemahaman bahwa antara alam sadar dan alam bawah sadar merupakan bagian yang integral pada diri tiap manusia.

Dalam novel-novelnya, Putu Wijaya melakukan pembauran peristiwa yang biasa (yang terjadi dalam alam sadar) dengan peristiwa yang ada dalam alam bawah sadar. Pembauran tersebut dilakukan dengan cara (1) menghadirkan tokoh khayal, (2) masuk dalam alam mimpi, dan (3) menghadirkan halusinasi.

Melalui tokoh imajener yang dihadirkan oleh tokoh utama dan penceritaan alam mimpi, Putu dapat bercerita dengan mengembara seolah-olah terbebas dari dimensi ruang dan waktu. Tokoh-tokoh yang ada dapat bercerita tentang apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Sementara itu, melalui halusinasi pikiran dapat berjalan-jalan dengan sebebas-bebasnya, seperti dalam novel Telegram, pikiran yang dapat berjalan-jalan memeriksa organ tubuhnya sendiri.

Ditinjau dari konvensi sastra, pembauran antara peristiwa nyata dan peristiwa tak nyata dapat dipandang sebagai upaya untuk terbebas dari “beban moral” sebagai seorang pengarang. Secara konvensional pengarang selalu dibebani untuk memberi “roh” pada peristiwa yang ditampilkan, tokoh yang dipilih, latar yang disajikan, dan unsur-unsur struktur lainnya. Pemberian “roh” tersebut seringkali terjebak pada kelaziman untuk bersikap menggurui pembaca.

Putu Wijaya mengganggap pemberian “roh” tersebut tidak selamanya harus hadir dalam karya sastra. Berkaitan dengan proses kreatifnya Putu pernah menyampaikan sebagai berikut.

“Hal terpenting dalam bercerita adalah menceritakan apa yang ada di kepala, bercerita nyerocos apa adanya. Kalau tidak tahu, ya tidak tahu. Kalau memang bodoh, ya biar bodoh, tak usah dipintar-pintarkan. Justru dengan sikap demikian itulah cerita dapat mengalir ke mana dan di mana saja tanpa terbebani keharusan untuk menetapkan adanya rujukan yang pasti tentang segala hal yang diceritakan (Eneste, 1983:150).

Pembauran alam sadar dan alam bawah sadar antara lain dapat ditemukan pada novel Telegram, Stasiun, dan Pol. Dalam novel-novel tersebut digambarkan tokoh-tokoh utamanya dapat bercerita apa saja dan kapan saja tentang segala hal. Tokoh utama seringkali bercerita tentang masa lalu dan masa depan sebagai bagian integral dalam dirinya saat ini. Pembauran tersebut seringkali tidak tertandai secara jelas. Bahkan adakalanya kita baru tahu bahwa tokoh yang ada adalah tokoh khayal atau peristiwa yang ditampilkan menjadi bagian dari alam bawah sadar setelah cerita tersebut berakhir.

D. Teknik Aliran Kesadaran (Stream of Consciousness)
Aliran kesadaran (stream of consiousness) merupakan istilah dalam ilmu psikologi yang digunakan untuk menggambarkan keadaan pikiran dan kesadaran sese­orang. Istilah tersebut digunakan oleh Willian James untuk menyatakan aliran yang tak terputus-putus dari pikiran dan kesadaran dalam benak seseorang (Sudjiman, 1981:89).

Berdasarkan pengertian di atas, cerita aliran kesadaran yakni cerita menampilkan tokoh dengan mengikuti bagaimana cara persepsi dan pikiran muncul dalam diri seseorang, yakni secara acak. Mengikuti cara ini, aliran pikiran dan perasaan tokoh disajikan seperti kemunculanya tanpa memperhatikan urutan logis. Kenyataan, harapan, kenangan, mimpi, berselang-seling dan berbaur. Semua hal tersebut disajikan apa adanya sesuai dengan yang terjadi dalam diri tokoh. Steinberg (dalam Prihatmi, 1997:49) menyatakan bahwa cerita aliran kesadaran mencoba menirukan realis – seperti adegan yang terjadi pada layar – tetapi hanya dengan alat bahasa.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah dengan merekam secara serentak perkataan, pikiran, penglihatan itu dapat disebut mengungkap “bawah sadar” manusia. Jawaban pertanyaan tersebut dapat dikembalikan pada prinsip Freud, bahwa keadaan manusia sebenarnya bukan hanya kesadaran yang lebih penting justru ketaksadaran.

Dalam hubungannya dengan penampilan tokoh melalui aliran kesadaran terdapat beberapa cara yang ditempuh. Cara yang dimaksud yaitu (1) teknik montase, (2) teknik kolase, dan (3) teknik asosiasi (Sudjiman, 1991:98-100).

Teknik montase (istilah dalam film) berarti memilih-milih, memotong-motong, serta menyambung-nyambung gambar menjadi satu keutuhan. Dalam cerita, teknik montase dapat menghasilkan suatu kisahan yang putus-putus. Teknik ini digunakan untuk digunakan untuk menciptakan suasana tertentu melalui pencipataan impresi.

Teknik kolase (istilah dalam seni rupa), yakni teknik menempelkan potongan kertas, koran, tutup botol, karcis bis, dan lain-lain dalam satu bidang (kanvas). Dalam sastra teknik kolase menghasilkan cerita yang sarat dengan kutipan dari karya sastra lain, dengan alusi, ungkapan asing, yang biasanya dianggap tidak ada hubungannya. Cerita terputus oleh kisah atau peristiwa yang tidak ada hubungannya bahkan berbeda ruang dan waktu.

Teknik asosiasi (istilah dalam ilmu jiwa), bahwa dalam berpikir orang tidak selalu dituntun oleh logika tetapi juga oleh asosiasi atau tautan. Suatu hasil pengindraan mengingatkan kita akan hal lain yang bertautan. Penggunaan teknik ini dalam sastra menghasilkan serangkaian peristiwa yang tampaknya tidak berkaitan dengan inti cerita. Akan tetapi bila dicermati lebih dalam, dengan menggunakan asosiasi, keterkaitan antarperistiwa tersebut dapat dijelaskan. Di sinilah pembaca diberikan kesempatan seluas-luasnya. Bagaimanapun juga pembacalah yang diharapkan dapat mempertautkan peristiwa atau kisahan yang ditampilkan dalam cerita dan akhirtnya dapat menetapkan sintesisnya.

Dalam novel-novelnya Putu Wijaya banyak menggunakan teknik aliran kesadaran untuk menampilkan tokoh-tokohnya. Penampilan bawah sadar sebagai wujud dari teknik aliran kesadaran yakni dengan cara menulis dan mengungkapkan hal –hal yang tak terkatakan dan pikiran-pikiran yang tidak dilaksanakan. Semua hal tersebut terealisasi melalui pembauran alam nyata dan alam tak nyata sebagaimana diuraikan sebelumnya.

E. Model Pengaluran
Pembauran arus kesadran dengan arus bawah sadar dan teknik aliran kesadaran (stream of consciousness) sangat mempengaruhi model pengaluran. Oleh karena yang hadir adalah tokoh khayal, baik lewat mimpi atau halunisasi, yang hadir juga peristiwa-peristiwa tidak nyata.

Konsekuensi yang muncul dari hal itu yakni alur dan pengaluran merupakan mosaik potongaan-potongan cerita dari dua dunia yang berbeda. Dengan demikian hukum kausalitas dalam alur seringkali tersamar dan bahkan tidak hadir sama sekali. Ketidakjelasan alur tersebut bukan berarti novel-novel karya Putu tidak beralur. Alur dihadirkan dalam bentuk yang sublim mengikuti aliran cerita yang ditampilkan.

Hal di atas dapat dihubungkan dengan sikap Putu Wijaya dalam menanggapi proses kreatif kepengarangannya. Putu beranggapan bahwa intelektualitas bukan hal yang terpenting dalam karya sastra. Bekal intuisi dan perasaan saja cukup untuk mencipta. Dalam menulis Putu merasa sebagai orang yang kebetulan fasih berbicara dan memuntahkan intuisi semata-mata tanpa referensi.

Anggapan bahwa intelektualits tidak penting juga erat kaitannya dengan pilihan teknik bercerita, termasuk untuk “mengabaikan” pengaluran. Sebagai upaya menambah pemahaman, pandangan Putu Wijaya dapat diperbandingkan dengan Soebagya Sastrowardoyo. Pembadingan tersebut tentu saja bukan dalam kerangka mencari persamaan, perbedaan, atau mempertentangkan ke dua pengarang tersebut. Soebagyo menegaskan mengapa dirinya lebih memilih menjadi penyair dengan menulis sajak. Sajak dianggap lebih sanggup memenuhi kebutuhan menyatakan pengalaman estetik secara langsung ke dalam tulisan tanpa berpaling pada rencana yang disengaja mengenai pembentukan watak, tokoh-tokoh, kejadian-kejadian, dan plot. Dalam hal ini tampak dua hal yang berbeda dalam memaknai konsep intelektualitas dalam berkarya. Putu memaknai intelektualitas dengan suatu keharusan menjelaskan segala hal yang yang tertuang dalam karya sastra (novel). Sementara itu Soebagyo lebih menekankan adanya rencana, pemikiran, bahkan logika sebelum menulis sebuah karya sastra, khususnya yang berbentuk prosa. 

F. Penutup
Putu tampil melalui pilihan peristiwa kecil-kecil, unik, yang seringkali berupa anekdot. Melalui hal kecil, unik, dan anekdot itu sebenarnya dia ingin menyampaikan “sesuatu yang besar”. Sesuatu yang besar tersebut selalu berhubungan dengan ke-ada-an dan ke-beradaan-an manusia yang hakiki. Oleh karena itu masih terbuka kemungkinan yang sangat luas, bahkan tak ada habisnya, dalam upaya memahami dan memaknai karya-karya Putu Wijaya. Seperti pernyataan Putu dalam menerangkan proses kreatifnya, “kadang-kadang saya berpikir bahwa mungkin sebenarnya saya hanya menulis sebuah novel, sebuah cerita pendek, sebuah esai, sebuah drama yang sampai sekarang belum pernah selesai. Begitulah adanya."

Pustaka;

  • Bertens, K. 1987. Fenomenologis Eksistensialis. Jakarta: Penerbit Gramedia
  • Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta
  • Drama, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar
  • Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosilogi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:Depdikbud.
  • Eddy, Nyoman Tusthi. 1983. Nukilan I: 15 Esai tentang Sastra. Ende Flores: Penerbit Nusa Indah.
  • Eneste, Pamusuk (ed.). 1983. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gramedia.
  • Esten, Mursal. 1987. Kesusastraan, Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Penerbit Angkasa
  • Hasan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Joseph, L Frans Sinuer. 1986. Manusia Modern Mencari dan Menemukan Identitas Diri. Bandung: Serva Minora.
  • Koeswara, E. 1987. Psikologi Eksistensialis: Sauatu Pengantar. Bandung: Penerbit Eresco.
  • Kuntowijoyo. 1984. Penokohan dan Perwatakan dalam Sastra Indonesia. Dalam Budaya Sastra. Andy Zoeltom (Ed.) Jakarta: Penerbit Radjawali.
  • Prihatmi, Sri Rahayu. 1990. Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto: Dialog antara Dunia Nyata dan Tidak Nyata. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
  • --------------------------. 1990. Dari Mochtar Lubis hingga Mangunwijaya. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
  • --------------------------. 1997. Teknik “Stream of Consciousness” dalam Novel Telegam Karya Putu Wijaya. Dalam Lembaran Sastra No. 22/1997. FASA Undip.
  • Sudjiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Suyitno. 1996. Sastra Tata Nilai dan Eksesgesis. Yogyakarta: Penerbit Hanindita.
  • Toda, Dami N. 1984. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
  • Teeuw , Andreas. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Wellek, Rene dan Austin Wareen. 1990. Teori kesustraan. Terjemahan melani Budianta. Jakarta: Penerbit Gramedia.
  • Zoeltom, Andy (Ed.) 1984. Budaya Sastra. Jakarta: Penerbit Radjawali.
Blog, Updated at: 06.44.00

0 komentar:

Posting Komentar