Perkembangan Pers di Indonesia

Posted By frf on Kamis, 27 Oktober 2016 | 04.40.00

Perkembangan Pers di Indonesia 
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi tiga golongan yaitu Pers Kolonial, Pers Cina dan Pers Nasional. 
  1. Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa colonial/penjajahan. Jurnalistik pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744, ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penggunaan orang-orang Belanda. Pada tahun 1776, di Jakarta juga terbit sebuah surat kabar Vendu Views yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Saat abad ke-18 berbagai macam surat kabar terbit yang masih dikelola oleh Belanda. Pers colonial meliputi surat kabar, majalah dan Koran bebrbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonis Belanda. 
  2. Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang cina di Indonesia. Pers cina meliputi Koran-koran, majalah dalam versi bahasa China, indonesoa atau Belanda yang diterbitkan oleh orang-orang keturunan belanda. 
  3. Pers Nasional adalah persyang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama oleh orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang-orang indoneisa. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak orang Indonesia dimasa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional.
Sedankan surat kabar pertama sebagai untuk kaum peribumi dimulai pada tahun 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan yang diusul oleh Bromartani pada 1885, kedua di Waltevreden, dan tahun 1856 terbit Soerat Kabar bahasa Malajo di Surabaya. Setelah proklamasi kemerdekaan, pers nasional menikmati saat-saat yang membahagiakan karena pada saat ini pers nasional menunjukkan jatidirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi mereka hanya bagaimana mengamankan dan mengisi kekosongan kemerdekaan. 

A. Pers di awal pertumbuhan 
Pada tahun 1615 atas Perintah gurbernur Jendral Jan Pieterzoon Coen diterbitkan Memories der Nouvelles yang ditulis dengan tangan. 
  • Pada tahun 1688 diterbitkan surat kabar cetak pertama dengan mesin cetak yang didatangkan dari Belanda. 
  • Pada tanggal 20 Juni 1746 surat kabar pertama ditutup dan pada tahun 1810 muncul kembali Bataviasche Koloniale Courant di Jakarta, Surabaya dan Semarang.
  • Pada tahun 1770 terbit surat kabar kedua bernama Vendu Nieuws dan pada masa pemerintahan Herman Willems Daendles, dan pada tahun 1809 surat kabar ini diberhentikan.
  • Pada tahun 1831 terbit surat kabar swasta pertama, dan sebelum tahun 1856 tidak kurang dari 16 surat kabar terbit di Hidia Belanda.
B. Pers di masa pergerakan dan revolusi
Pada tnggal 25 January 1855, terbit surat kabar Bromartani di Surakarta yang merupakan surat kabar yang pertama menggunakan bahasa Jawa. Selain itu surat kabar berbahasa Melayu terbit pada tahun 1856 yang diterbitkan di Batavia tahun 1858. 

Muncul wadah persatuan wartawan seperti Indische Joornalisten Bond(1919) dan Kaoem Jurnalsit (1931). Pada masa pendudukan Jepang, pers dikuasai Jepang kecuali beberapa surat kabar peribumi yang dibawah control ketat (Osamu Sairi) No. 16 tentang badan pengumuman dan penerangan serta pemilikan pengumuman dan penerangan. Era Jurnalistik Modern pertama ditegakkan oleh RM. Tirto Adhi Soeryo, pemimpin redaksi Soenda Berita, yang ,mendirikan perusahaan pers dan majalah mingguan Medan Prijaji (1910), sebagai surat kabar harian dengan Jurnalis Politik.


Muncul surat kabar Sarotomo yang berubah menjadi Pewarta Oemoem (Suara Parindra), Penggugah (surat kabar Indische Pertij), Suara Kaoem Boeroeh di Poerworejo (1921) dan Rakyat Bergerak di Yogyakarta (1923). Sensor mulai berlaku, yaitu Persfreidel Ordonantie (1931) dan Haatzaai Antikelen terhadap pers yang anti kolonial. Pada tanggal 8 Juni 1946 muncul Serikat Perusahaan Surat Kabar (Penerbit). 

Pada tahun 1957 jumlah surat kabar mencapai 120 buah dengan oplah 1.049.500 ex perhari. Empat surat kabar beroplah tinggi, yaitu Harian Rakyat (Organ PKI), Pedoman (PSI), Suluh Indonesia (PNI), Abadi (Masyumi). Kebebasan pers mulai dibelenggu pemerintah dengan penahawan wartawan sampai penyitaan percetakan. Puncaknya, Kodam V Jakarta Raya memberlakukan ketentuan SIT pada tanggal 1 Oktober 1957.

C. Pers di masa orde baru
Di awal orde baru pers sempat menikmati kebebasannya berdasarkan UU No.11/1966 dan Tap MPRS No.32 tanggal 12 Desember 1966 pasal 4, 5 dan 8. Dipicu peristiwa Malari di Jakarta (15 Januari 1974), kebebasan pers mulai mendapat tekanan. Perumusan konsep pers Pancasila dilakukan tanggal 7 - 8 Desember 1984, munculah istilah pers bebas yang bertanggungjawab. Pers sering dibredel dengan alasan meresahkan masyarakat dan menyinggung sara. Keluar aturan SIUPP berdasar Peraturan Menteri No. 10 tahun 1994. Terbuka peluang modal asing masuk pers. Pers mulai terjebak aantara idealisme politik dan pragmatisme ekonomi. 

D. Pers di masa pasca orde baru 
Pasca orde baru, pemerintahan BJ. Habibie mempunyai andil besar terhadap kebebasan pers. Tanggal 20 Mei 1998 merupakan tonggak penting lahirnya reformasi yang ditandai dengan turunnya Soeharto sebagai Presiden. Kebebasan pers di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU No.40 tahun 1999. Pers belum mampu menjadi pilar demokrasi, kalangan DPR menilai perlunya meninjau kembali UU No.40 tahun 1999 dengan memasukkan perijinan dan mekanisme pengawasan dalam penerbitan pers. 

Funsi dan Peranan Pers di Indonesia 
A. Fungis pers di Indonesia 
Menurut UU No. 4o tahun 1999 tentang pers, disebutkan dalam pasal 3 fungsi pers adalah sebagai berikut: 

  1. Sebagai media informasi karena pers member dan menyediakan informasi tentang pristiwa yang terjadi pada masyarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena butuh informasi. 
  2. Fungsi pendidikan karena pers itu sebagai sarana pendidikan massa (massa Education), pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bisa bertambah pengetahuan dan wawasannya.
  3. Sebagai hiburan karena pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Seperti cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok atau karikatur.
  4. Fungsi Kontrol Sosial, terkandung makna demokratis yang didalamnya terdapat unsure-unsur sebagai berikut: 

  • Social particiption yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan.
  • Socila responsibility yaitu pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat
  • Socila support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah.
  • Sial Control yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerinta
5. Fungsi ekonomi yaitu pers adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers dapat memanfaatkan keadaan disekitarnya sebagi nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri. 

B. Peranan pers di Indonesia 
Menurut pasal 6 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, perana pers adal;ah sebagai berikut :

  • Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
  • Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menhormati kebhinekaan.
  • Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
  • Melakukan pengawasan,kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
  • Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial . Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari pemerintah.

Menurut tokoh pers, jakob oetama , kebebsan pers menjadi syarat mutlak agar pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers.

Pers Yang Bebas dan Bertanggung Jawan Sesuai Kode Etik Jurnalistik 
A. Bentuk-bentuk kode etik 
Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik, wartawan penyiar tunduk pada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selama abad ke-19, semakin banyak surat kabar dan majalah yang menyuarakan reformasi politik dan sosial sebagai metode menarik pembaca. Para wartawan terus bekerja sebagai penjaga mayarakat. Para wartawan yang meliputi perang Vietnam (1959 - 1975) yakin bahwa para pejabat pemerintah tidak memberitahukan kebenaran tentang keterlibatan Amerika Serikat disana. Mereka jadi sangat berpengaruh dalam memutar opini public dari mendukung menjadi penantang perang tersebut.

Adapun bentuk-bentuk kode etik dalam pers adalah sebagai berikut: 
Menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar 
Menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi 
Menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu menliti kebenaran informasi serta tidak melakukan flagiat 
Tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan asusila 
Tidak menerima uang suap dan tidak menyalahgunakan profesi 
Memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan 

B. Kode etik peliputan pemilu 
Indoensia belum ada kode etik peliputan pemilu yang disepakati bersama, sehingga setiap menjelang pemilu sejumlah organisasi wartawan sibuk membuat rumusan kode etik. Dalam Lokakarya peliputan pemilu 2004 yang diadakan lembaga pers Dr. Soetomo di Cianjur 21-25 April 2003 muncul kode etik berikut : 
Pola dan tujuan pemberitaan pemilu hendaknya direncang untuk membantu masyarakat 
Media agar membentuk tim peliputan pemilu sedini mungkin 
Media pers mendorong partai-partai politik menggunakan media massa dalam strategi kampanye 

C. Pers yang bebas dan bertanggung jawab 
Selama ini banyak orang (terutama kaum awam) yang menduga, mengira atau menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi. Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi – tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan.”Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online – selanjutnya disebut media atau pers) sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat.

Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.

Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS. Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression).

Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun – yang mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya.

Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus memiliki tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto — gara-gara sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common sense, akal sehat.
Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan ala Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers dapat berposisi sebagai “anjing penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Begitu penting dan idealnya posisi pers dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga kedudukannya disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan ke empat) yang dianggap sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.

Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.

Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.

Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut yang memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Cuma sayang sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan inhouse training bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan yang tak mampu menulis berita yang baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan berita yang klasik: 5-W (who, what, when, where, why) dan 1-H (how).

Ia juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight news, breaking news sampai feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal quality ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news (kemampuan mengendus jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana berita yang layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia mampu melihat dengan jeli apa yang disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita). Selain itu, ia mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya melakukan wawancara yang lazim, melainkan juga mampu melakukan investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang mendalam, indeph reporting, indeph feature.

Bagaimana menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi: laporkan kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda bersih, tidak punya aib yang merugikan publik, seharusnya tidak khawatir diancam akan dicemarkan oleh “wartawan gadungan” di yellow paper (”pers kuning”) atau pers yang sensasional.
Terakhir, jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu saja hal itu bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi, melainkan lahan bagi pakar ilmu komunisi (yang pasti bukan petugas humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai “realitas media” dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di kalangan media.

SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=4430241481426687251;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=2;src=link
Blog, Updated at: 04.40.00

0 komentar:

Posting Komentar